Rabu, 21 September 2011

Menggali Potensi Diri

Konon di dunia binatang telah berlangsung musyawarah diantara binatang besar dibawah pimpinan raja rimba Singa. Mereka membicarakan rencana untuk mendirikan sekolah bagi para binatang kecil yang di dalamnya akan diajarkan mata pelajaran memanjat, terbang, berlari, berenang, dan menggali. Namun dalam musyawarah mereka tidak sepakat tentang subjek mana yang paling penting. Mereka akhirnya memutuskan agar semua murid mengikuti seluruh mata pelajaran yang diajarkan. Jadi, setiap murid harus belajar memanjat, terbang, berlari, menggali dan berenang. Pada saat sekolah dibuka, para binatang kecil dari seluruh pelosok hutan sangat antusias untuk bersekolah. Seluruh murid bergairah menikmati segala kebaruan dan keceriaan. Sampai tibalah suatu hari yang mengubah keadaan sekolah itu. Satu murid yang bernama kelinci sangat piawai berlari, namun ketika mengikuti kelas berenang dia hampir tenggelam. Dia berusaha untuk belajar berenang, namun selalu gagal, sehingga mengguncang batinnya. Karena sibuk belajar berenang, si Kelincipun tak pernah dapat lagi berlari secepat sebelumnya. Pada saat yang sama, murid lain yang bernama Elang mengalami kesulitan dalam pelajaran menggali. Elang yang terkenal pandai terbang, selalu gagal dalam pelajaran menggali, sehingga dia harus mengikuti les pelajaran menggali. Les itu menyita waktu sehingga ia melupakan cara terbang yang sebelumnya sangat ia kuasai. Setiap hari kesulitan-kesulitan muncul dan melanda para binatang siswa sekolah. Setiap siswa sibuk memperbaiki pelajaran yang tidak ia kuasai sehingga mereka tidak punya kesempatan lagi untuk beprestasi dalam bidang keahlian mereka masing-masing. Hal ini terjadi karena sekolah tidak menghargai sifat alami mereka. Dongeng di atas dikutip dari pengantar buku Sekolah Para Juara karya Thomas Amstrong (2000). Thomas Amstrong adalah pakar dan praktisi Kecerdasan Majemuk (Multiple Intellegencesi) yang ditemukan oleh Howard Gardner. Amstrong mengilustrasikan kemajemukan potensi setiap orang seperti kecerdasan alami yang dimiliki para binatang. Menurut Gardner setiap orang berbeda karena memiliki kombinasi kecedasan yang berlainan (1987). Lebih lanjut Gardner mengatakan bahwa kita cenderung hanya menghargai orang-orang yang memang ahli di dalam kemampuan logis-matematis dan bahasa. Apresiasi sekolah diberikan kepada mereka yang memiliki kombinasi kemampuan itu dengan memberi label: murid pandai, bintang pelajar, juara kelas dan ranking tinggi pada setiap pembagian buku raport. Sementara untuk orang-orang yang memiliki talenta (gift) di dalam kecerdasan yang lainnya seperti artis, arsitek, musikus, ahli alam, designer, penari, terapis, entrepreneurs, dan lain-lain kurang mendapat perhatian. Jarang sekali sekolah yang memberikan penghargaan pada siswa yang memiliki kemampuan misalnya olah raga, kepemimpinan, pelukis dan lain-lain. Saat ini banyak anak-anak yang memiliki talenta (gift), tidak mendapatkan reinforcement di sekolahnya. Banyak sekali anak yang pada kenyataannya dianggap sebagai anak yang “Learning Disabled” atau ADD (Attention Deficit Disorder), atau Underachiever, pada saat pola pemikiran mereka yang unik tidak dapat diakomodasi oleh sekolah. Pihak sekolah hanya menekankan pada kemampuan logis-matematis dan bahasa. Gardner (1983) mengenalkan Teori Multiple Intelligences yang menyatakan bahwa kecerdasan meliputi delapan kemampuan intelektual. Teori tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa kemampuan intelektual yang diukur melalui tes IQ sangatlah terbatas karena tes IQ hanya menekan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Padahal setiap orang mempunyai cara yang unik untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Kecerdasan bukan hanya dilihat dari nilai yang diperoleh seseorang. Kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang lain. Ada beberapa macam kecerdasan yang diungkapkan oleh Gardner (1983) yaitu: Linguistic Intelligence (Word Smart) Pandai berbicara, gemar bercerita, dengan tekun mendengarkan cerita atau membaca merupakan tanda anak yang memiliki kecerdasan linguistik yang menonjol. Kecerdasan ini menuntut kemampuan anak untuk menyimpan berbagai informasi yang berarti berkaitan dengan proses berpikirnya. Logical – Mathematical Intelligence (Number / Reasoning Smart) Anak-anak dengan kecerdasan logical–mathematical yang tinggi memperlihatkan minat yang besar terhadap kegiatan eksplorasi. Mereka sering bertanya tentang berbagai fenomena yang dilihatnya. Mereka menuntut penjelasan logis dari setiap pertanyaan. Selain itu mereka juga suka mengklasifikasikan benda dan senang berhitung. Visual – Spatial Intelligence (Picture Smart) Anak-anak dengan kecerdasan visual – spatial yang tinggi cenderung berpikir secara visual. Mereka kaya dengan khayalan internal (internal imagery), sehingga cenderung imaginatif dan kreatif. Bodily – Kinesthetic Intelligence (Body Smart) Anak-anak dengan kecerdasan bodily – kinesthetic di atas rata-rata, senang bergerak dan menyentuh. Mereka memiliki kontrol pada gerakan, keseimbangan, ketangkasan, dan keanggunan dalam bergerak. Mereka mengeksplorasi dunia dengan otot-ototnya. Musical Intelligence (Music Smart) Anak dengan kecerdasan musical yang menonjol mudah mengenali dan mengingat nada-nada. Ia juga dapat mentranformasikan kata-kata menjadi lagu, dan menciptakan berbagai permainan musik. Mereka pintar melantunkan beat lagu dengan baik dan benar. Mereka pandai menggunakan kosakata musical, dan peka terhadap ritme, ketukan, melodi atau warna suara dalam sebuah komposisi musik. Interpersonal Intelligence (People Smart) Anak dengan kecerdasan interpersonal yang menonjol memiliki interaksi yang baik dengan orang lain, pintar menjalin hubungan sosial, serta mampu mengetahui dan menggunakan beragam cara saat berinteraksi. Mereka juga mampu merasakan perasaan, pikiran, tingkah laku dan harapan orang lain, serta mampu bekerja sama denganm orang lain. Intra personal Intelligence (Self Smart) Anak dengan kecerdasan intra personal yang menonjol memiliki kepekaan perasaan dalam situasi yang tengah berlangsung, memahami diri sendiri, dan mampu mengendalikan diri dalam situasi konflik. Ia juga mengetahui apa yang dapat dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan dalam lingkungan sosial. Mereka mengetahui kepada siapa harus meminta bantuan saat memerlukan. Naturalist Intelligence (Nature Smart) Anak-anak dengan kecerdasan naturalist yang menonjol memiliki ketertarikan yang besar terhadap alam sekitar, termasuk pada binatang, di usia yang sangat dini. Mereka menikmati benda-benda dan cerita yang berkaitan dengan fenomena alam, misalnya terjadinya awan dan hujan, asal usul binatang, pertumbuhan tanaman, dan tata surya. Tahun 1999 Gardner menemukan jenis kecerdasan baru, kecerdasan kesembilan dalam teorinya, yang ia namakan Existence Intelligence Anak yang memiliki kecerdasan ini memiliki ciri-ciri yaitu cenderung bersikap mempertanyakan segala sesuatu mengenai keberadaan manusia, arti kehidupan, mengapa manusia mengalami kematian, dan realitas yang dihadapinya. Temuan Gardner menuntut semua orang untuk mengevaluasi kembali ”Paradigma Pendidikan” yang diyakininya selama ini, khususnya dalam memandang kecerdasan seorang siswa dan proses pembelajaran yang harus dilakukan. Kita tidak dapat lagi memandang kecerdasan seseorang hanya dari satu atau dua jenis kecerdasan dan menafikan kecerdasan yang lain. Kita tidak dapat lagi mengklasifikasikan seorang siswa sebagai siswa cerdas dan siswa bodoh. Menurut Renee Fuller dalam Gordon Dryden (2000) jika kita ngotot ingin melihat kecerdasan dengan kacamata filter tunggal, banyak kecerdasan akan terselubung sama sekali. Setiap anak secara potensial pasti berbakat tetapi ia mewujudkan dengan cara yang berbeda-beda. Selain kecerdasan, setiap orangpun mempunyai gaya belajar, bekerja dan karakter yang unik. Pakar psikiatri Carl Jung pada tahun 1921 telah memetakan tipe orang berdasarkan cara pandangnya. Dia mengklasifikasikan menjadi empat tipe: perasa (feeler), pemikir (thinker), pelakon (sensor), dan yang mengandalkan intuisi (intuitor). (Dryden: 2000). Sementara Lloyd Geering mengklasifikasikannya menjadi: Pemikir ekstrovert, Pemikir introvert, Perasa ekstrovert, Perasa introvert, Pelakon ekstrovert, Pelakon Introvert, Intuitif ekstrovert, dan Intuitif introvert. (Dryden: 2000). Prof. Ken dan Rita Dunn dari Univ. St. Johns, New York dalam penelitiannya tentang bagaimana seseorang menyerap informasi menyimpulkan tiga gaya belajar yaitu: Visual, Auditorial dan Kinestetik. Meskipun kebanyakan orang memiliki akses ke ketiga gaya visual, auditorial, dan kinestetik, hampir semua orang cenderung pada salah satu gaya belajar (Bandler dan Grindler, 1981) yang berperan sebagai saringan untuk pembelajaran, pemrosesan, dan komunikasi. Gaya visual mengakses citra visual, yang diciptakan maupun diingat. Seseorang dengan gaya visual memiliki ciri sebagai berikut : * Teratur, memperhatikan segala sesuatu, menjaga penampilan * Mengingat dengangambar, lebih suka membaca dari pada dibacakan * Membutuhkan gambaran dan tujuan menyeluruh dan menangkap detail: mengingat apa yang dilihat. Gaya Auditorial mengakses segala jenis bunyi dan kata diciptakan dan diingat. Ciri-ciri yang bergaya auditorial adalah: * Perhatiannya mudah terpecah * Berbicara dengan pola berirama * Belajar dengan cara mendengarkan, menggerakan bibir/bersuara saat membaca * Berdialog secara internal dan eksternal Gaya kinestetik mengakses segala jenis gerak dan emosi-diciptakan maupun diingat. Seseorang yang bergaya kinestetik mempunyai ciri-ciri: * Menyentuh orang dan berdiri berdekatan, banyak bergerak * Belajar dengan melakukan, menunjuk tulisan saat membaca, menanggapi secara fisik * Mengingat sambil berjalan dan melihat. (Booby dePorter, 1999) Menurut penelitian Dunn pelajar jenis kinestetis paling mengalami kesulitan di sekolah-sekolah tradisional. Sebagian besar mereka mengalami kegagalan dalam belajar karena sekolah-sekolah tradisional tidak mengakomodasi gaya belajar mereka. Sekolah tradisional pada umumnya melaksanakan proses pembelajaran secara visual dan auditorial, sementara pelajar kinestetik membutuhkan gerak, menyentuh, atau bertindak sehingga mereka merasa tidak terlibat, ditinggalkan dan bosan. Mereka tidak tahan duduk berjam-jam hanya untuk mendengarkan. Sebagian besar gurupun tidak memahami gaya alami mereka, sehingga mereka sering dicap siswa nakal, bermasalah, kesulitan belajar. Di dalam kelas mereka sering mendapat teguran dan kena marah guru karena dianggap tidak mau memperhatikan. Ketika mereka berusaha untuk mengikuti pelajaran dengan mencatat setiap kalimat yang diucapkan guru saat menjelaskan, mereka sering kena tegur karena dianggap tidak memperhatikan. Sebagian besar guru menginginkan siswanya duduk manis menyimak yang dia katakan saat menjelaskan. Fenomena saat ini banyak sekolah yang memanfaatkan LKS (lebih tepat kumpulan soal, karena sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai LKS), sangat menguntungkan siswa-siswa dengan gaya visual tetapi siswa-siswa gaya auditorial sangat tersiksa, sulit mengikuti pelajaran. Karena alasan itulah saya terpaksa memindahkan anak saya yang duduk di kelas II SD negeri menjadi turun kembali ke kelas I, ke Sekolah Alam Tangerang, sebuah sekolah yang mengakomodasi semua gaya belajar. Anak saya gaya belajar dominannya Auditorial, namun di sekolahnya setiap hari hanya mengerjakan LKS sehingga dia tertekan dan kalau dibiarkan bisa mengalami Shutdown Learning (kebuntuan belajar), dan ini sangat fatal untuk masa depan belajrnya. Menurut Dryden ketidak sesuaian gaya sekolah dalam proses pembelajaran dengan gaya belajar siswanya telah menyebabkan kegagalan pada banyak anak dan menjadi penyebab terbesar kegagalan sekolah. Cara pandang sekolah yang mengasumsikan bahwa setiap siswa mempunyai gaya belajar yang sama dan mengklasifikasikan siswa sebagai siswa pintar dan siswa bodoh telah mengingkari fitrah kemanusiaan yang sesungguhnya dan menjerumuskansebagian siswa pada kegagalan. Oleh karena itu merupakan kewajiban sekolah, guru dan orangtua untuk menemukan gaya belajar siswanya, menemukan jenis-jenis kecerdasannya dan mengakomodasi keragaman tersebut dalam proses pembelajaran serta mendorong seluruh kemampuan potensial mereka. Kebijakan pemerintah dengan memberlakukan kurikulum satuan pendidikan (KTSP), sebelumnyanya Kurikulim Berbasis Kompetensi (KBK), merupakan suatu kesadaran dari pemerintah akan keragaman siswa. Secara konsep dalam KTSP keunikan gaya belajar setiap siswa dan keragaman kecerdasan sangat memungkinkan untuk diakomodasi. Namun pada tataran implementasi sangat sulit untuk diimplementasikan karena terdapat hambatan-hambatan baik struktural maupun kultural. Hambatan struktural tingkat pusat adalah masih dipertahankannya kebijakan UAN dalam KTSP dan di daerah masih banyak yang melaksanakan Ulangan Umum Bersama. Untuk menerapkan Kecerdasan Majemuk dibutuhkan sistem evaluasi belajar tersendiri yang sesuai dengan kecerdasan alami siswa, bukan seperti Uan dan Ulangan Umum Bersama. Hambatan kultural muncul dari sikap guru dan sekolah yang malas untuk berubah dan stagnan, alergi dengan pembaharuan serta malas berinovasi. Sementara untuk melayani gaya belajar yang berbeda dan mengoptimalkan kecerdasan setiap siswa dibutuhkan metoda pembelajaran yang berbeda dari metoda pembelajaran yang banyak digunakan saat ini. Dibutuhkan inovasi-inovasi dalam metoda dan strategi pembelajaran sehingga seluruh keunikan siswa terlayani. Ini membutuhkan kerja keras dan keikhlasan! Daftar Pustaka: 1. Thomas Amstrong, Sekolah Para Juara, Kaifa: 2000. 2. Gordon Dryden & Jeannette Bvos, Revolusi Cara Belajar , Kaifa: 1999 3. Linda Campbell dkk., Pembelajaran Berbasis Multi Intelegensi., Intuisi Press: 2004 4. Bobbi DePorter dkk., Quantum Teaching., Kaifa: 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar